Sistem Sosial dan Budaya di Papua
Perspektif sosial dan
budaya merupakan proses perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan pola pikir,
gagasan dan ide-ide manusia mengakibatkan terjadinya perbedaan dengan keadaan
sebelumnya dengan keadaan yang sedang dihadapi seperti perubahan struktur, fungsi
budaya baik dalam wujud penambahan unsur baru atau pengurangan dan penghilangan
unsur lama bisa dalam manifestasi kemunduran (regress) dan bisa juga kemajuan
(progress).
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa
yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia
dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani.
Sumber berbagai kearifan
lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya
dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak,
Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem
kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat
berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan
bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Berbicara mengenai sistem sosial, terkandung sistem nilai sosial
budaya. Koentjaraningrat (1974:25)1 menganggap nilai sosial budaya sebagai
faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau sekelompok orang di
masyarakat. Sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsepsi yang hidup dalam
alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus
mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata
kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan
khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.
Semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan, akan berkisar
dalam lingkup masalah kehidupan (hakekat hidup), kerja, waktu, alam atau
lingkungan hidup dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan mengikuti
klasifikasi Alisyahbana (1981:22)2, berusaha memilah-milah berbagai macam nilai
budaya menjadi enam kelompok: Nilai teori, nilai ekonomi, nilai solidaritas,
nilai agama, nilai seni dan nilai kuasa. Pertama nilai teori mendasari
perbuatan seseorang atau sekeklompok orang yang bekerja terutama atas pertimbangan-pertimbangan
rasional. Nilai ini dilawankan dengan nilai agama, yaitu nilai budaya yang
mendasari perbuatan-perbuatan atas pertimbangan kepercayaan bahwa ‘’sesuatu’’
itu benar. Kedua nilai ekonomi yaitu pertimbangan utama yang mendasari perbuatan
dengan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya,
dilawankan dengan nilai seni, yakni nilai budaya yang mempengaruhi tindakan
seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan rasa keindahan atau
rasa seni yang terlepas dari pertimbangan material. Ketiga nilai solidaritas,
apabila perbuatan seseorang didasarkan atas pertimbangan bahwa teman atau
tetangganya juga berbuat demikian tanpa menghiraukan akibat perbuatan itu
terhadap dirinya sendiri. Nilai ini dilawankan dengan nilai kuasa, yaitu budaya
yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang terutama atas
pertimbangan baik-buruk untuk kepentingan diri atau kelompoksendiri..
Keenam jenis nilai tersebut, timbul dari aktivitas budi manusia,
yaitu:
(1) nilai teori atau ilmu yang merupakan identitas tiap benda atau
peristiwa, terutama berkait erat dengan aspek penalaran (reasoning) ilmu dan
teknologi;
(2) nilai ekonomi, yang mencari dan member makna bagaimana
kegunaan segala sesuatu, berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi
secara efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi dan pertanggung jawaban;
(3) nilai agama, yang melihat segala sesuatu sebagai penjelmaan
kekudusan, dikonsentrasikan pada nilai-nilai dasar bagi kemajuan kehidupan di
dunia dan akhirat;
(4) nilai seni, yang menjelmakan keindahan atau keekspresifan;
(5) nilai kekuasaan, yang merupakan proses vertikal dari
organisasi sosial yang terutama terjelma dalam hubungan politik, ditandai oleh
pengambilan keputusan; dan
(6) nilai solidaritas sosial, yang merupakan poros horizontal dari
organisasi, terjelma dalam cinta dan kasih sayang, namun lebih berorientasi
kepada kepoercayaan diri sendiri.
Di dalam suatu masyarakat, seseorang mungkin mendasarkan
perbuatannya terutama atas satu atau beberapa gabungan nilai budaya, sementara
orang lain mendasarkan perbuatan atas nilai lainnya, sehingga sangat sulit
ditarik suatu benang pemisah yang tegas nilai mana yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Meskipun demikian, kiranya dapat diterima bahwa nilai
budaya yang dominan pada masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai
agama, dan nilai seni, sedangkan pada masyarakat maju (modern) nilai budaya
yang dominan adalah nilai teori, nilai ekonomis dan nilai kuasa. Nilai-nilai
tersebut tidaklah tetap begitu saja dari satu generasi ke generasi berikutnya,
melainkan berubah sejalan dengan kemajuan itu sendiri. Satu atau dua nilai
budaya yang lain mengalami pemudaran.
Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat, penduduk Papua
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, masing-masing :
1) penduduka daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum
rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan
menangkat ikan;
2) Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa
danau dan lebah serta kaki gunung. Umunya mereka bermata pencaharian menangkap
ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan;
3) Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun
dan beternak secara sederhana.
B. Suku di Papua
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa
yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia
dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan
lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya
dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak,
Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem
kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat
berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan
bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang
sangat unik, misalnya seperti yang ditujukan oleh budaya suku Komoro di
Kabupaten Mimika, yang membuat gendering dengan menggunakan darah. Suku Dani di
kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa
Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival
budaya Lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang di dalamnya
terdapat mummy yang diawetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di
Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, Mummy Jiwika 300 tahun, dan Mummy Pumo
berusia 250 tahun.
Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi,
sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian.
Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali
setelah 1.000 hari. Budaya Suku Asmat mempunyai empat makna dan fungsi,
masing-masing;
(1) melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
(2) untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
(3) sebagai suatu lambing kepercayaan dengan motif manusia, hewan,
tetumbuhan dan benada-benda lain;
(4) sebagai lambing keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek
moyang. Budaya Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat
Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu
seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.
C. Agama yang di Anut
Masyarakat Papua
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di
sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beraga
Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan
ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin
berkembang. Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di
pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu
masyarakat, baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan
langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan
praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur
penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan
reguler.
Menurut Abuddin Nata (2000:34)4, ciri utama aliran fundamentalis
Gereja adalah paham tentang supernaturalisme konservatif. Yaitu, Pertama,
kebebasan mutlak dan tiadanya kesalahan pada Kitab Suci Injil (Holy Bible).
Kedua, kelahiran Jesus dari Ibunda Maria yang suci.
Ketiga, penebusan dosa umat manusia oleh Jesus. Keempat,
kebangkitan Jesus secara jasmaniah yang turun ke bumi. Dan kelima, ketuhanan
Jesus Kristus. Butir pertama dari doktrin yang merupakan rukun iman kaum
fundamentalis itu timbul sebagai reaksi terhadap teori evolusi dalam kejadian
manusia yang dikemukakan oleh ahli biologi Inggris, Charles Darwin. Jika
pendapat ilmu penegatahuan itu diterima, maka empat pilar doktrin keimanan itu
akan mengalami ancaman, karena bias ditarik kesimpulan bagi hal-hal yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks demikian agama muncul dan mempunyai peran ganda,
yaitu untuk individu dan untuk masyarakat. Terhadap seorang individu, agama
adalah jalan penyucian diri, sarana penyucian jiwa yang akan memberi berbagai
pegangan dan pedoman untuk mencapai kesempurnaan hidup. Terhadap masyarakat,
agama menjadi suatu sarana penting dalam tertib sosial dan norma-normanya yang
sering amat efektif untuk membentuk suatu sistem sosial.
D. Tempat Wisata Papua
1) KAMPUNG WISATA
TABLANUSU
http://www.budparpapua.com/images/tablanusu.jpg
Kampung Tablanusu terletak di distrik Depapre, Kabupaten Jayapura,
Provinsi Papua. Di kampung nelayan yang telah dicanangkan oleh pemerintah
Kabupaten Jayapura sebagai desa wisata ini para wisatawan siap dimanjakan
dengan aneka jenis wisata, seperti wisata hutan, wisata pantai, wisata danau,
wisata sejarah, dan wisata budaya.
Sebelum menetap di desa nan asri ini, nenek moyang masyarakat
Tablanusu telah pindah sebanyak dua kali. Pertama sekali mereka mendiami dua
pulau di teluk yang tidak jauh letaknya.
2) UKIR-UKIRAN ASMAT
http://www.budparpapua.com/images/asmat2.jpg
Seni ukir Asmat telah dikenal luas sejak terjadi kontak dengan
budaya Barat pada tahun 1700-an. Saat diadakan Festival Budaya Asmat yang
berlangsung tiap bulan Oktober, banyak wisatawan dari mancanegara berkunjung ke
Asmat. Mereka sengaja datang dengan kapal dari negaranya, untuk mempermudah
membawa pulang ukiran Asmat yang mereka borong.
E. Pendidikan di Papua
Pendidikan merupakan masalah yang serius di Papua. Pendidikan yang
dimaksud adalah untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan masyarakat Papua
dalam dalam menghidupi dirinya dan sesamanya. Sisi lain berkaitan erat dengan
peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun dengan aspek pertama toh, aspek kedua
terpenuhi pula. Jadi, untuk melakukannya tentu melalui pendidikan dan
pelatihan/ keterampilan yang berkesinambungan, sehingga kemampuan yang keahlian
dalam bekerja dapat dimiliki.
Pendidikan Anak-anak di Papua (pedalaman), rata-rata masih
tergolong dalam tingkat pendidikan yang kurang.. Karena kebanyakan masyarakat
Papua berpedoman pada petunjuk turun temurun yang diberikan oleh keluarga tanpa
terkembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Maka penting untuk mendorong
mereka untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, tentu dengan pendidikan
dan pelatihan/keterampilan.
Dan juga bila kita kembali melihat, pendidikan di pedalaman sangat
menyayangkan, terutama sangat sayang sekali bila pendidik hanya terjadi dalam
kelas, namun akhirnya siswa tidak dirangsang untuk merefleksikan apa yang dia
belajar dengan apa yang dia lihat. Misalkan refleksi budaya, sejarah dan
pengetahuan masyarakat pribumi kepada hubungannya dengan pelajaran yang mereka
dapatkan, sehingga pelajaran yang mereka dapatkan tidak sia-sia karena
kurikulum yang ada belum mengarah sampai ke sana.
Dalam rangka meningkatkan rata-rata level pendidikan masyarakat Papua,
perlu segera diberikan solusi, baik oleh Lembaga Swadaya Masyarakat maupun
Pemerintah daerah, serta pemerhati pendidikan untuk menjadikan pendidikan Papua
yang lebih lokalitas.
Atas usaha Pusat Bahasa dan ratapan masyarakat adat di
kampung-kampung yang begitu keras terhadap pemerintah, barulah disadari untuk
kembali berpikir menegakkan panji dan jiwa muatan pendidikan lokal melalui
pelajaran muatan lokal KTSP berstandar isi 2006. Rupanya ratapan dan isaktangis
itu pun mengagetkan Depdiknas dari tidurnya dan baru menyadari bahwa politik
dominasi budaya selama ini telah mematikan keanekaragaman budaya Indonesia yang
lain, melalui berbagai media, buku pelajaran, maupun bentuk konspirasi lainnya.
Sebab itu, pelajaran muatan lokal di Tanah Papua mulai dikembangkan
secara resmi di sekolah-sekolah formal, contohnya di Kabupaten Biak-Numfor,
dengan pelajaran muatan lokal bahasa daerah Biak yang disesuaikan dengan
perkembangan umur dan tingkat satuan pendidikan berbasis budaya Papua dan
lingkungan para murid saat itu.
· Upaya-Upaya
Peningkatan Pendidikan Masyarakat Papua
Hal-hal yang kiranya perlu untuk meningkatkan sumber daya manusia
Papua adalah :
1. menetapkan program wajib belajar tanpa memandang gender;
2. memperbaiki sekolah–sekolah yang sudah tua
3. menyediakan fasilitas yang merupakan faktor utama berhasil
tidaknya pendidikan;
4. membiayai guru putra daerah untuk kulih ke luar Papua;
5. mengadakan pelatihan-pelatihan (keterampilan) yang memberikan
wawasan lokal, nasional bakan internasional;
6. menaikan gaji guru agar guru benar-benar mengajar tanpa
meninggalkan sekolah untuk mencari penghasilan tambahan (apalagi yang bertugas
di tempat terpencil);
7. mengembangkan keterpaduan antara perencanaan pendidikan dengan
perencanaan ketenagakerjaan;
8. inovasi sistem pendidikan terutama mengenai kurikulum yang
sangat sentralistik (kurikulum disesuaikan dengan karakter akar lokal Papua);
9. pengembangan sistem pendidikan nonformal untuk memberikan
berbagai keterampilan dan keahlian kepada generasi muda.
Di samping pendidikan latihan juga merupakan salah satu kegiatan
yang dapat meningkatkan sumber daya manusia. Terutama bagi masyarakat yang
berpendidikan rendah. Melalui kegiatan ini masyarakat dibina dan diberi
berbagai keterampilan sebagai bekal untuk hidup. Maka dalam pelatihan perlu
memberikan wawasan untuk menciptakan pekerjaan sendiri, mapun orang lain.
Juga ditekankan perhatian kepada pemerintah daerah, karena
pemerintah selama lebih sibuk dengan jabatannya. Lebih sibuk dengan pemekaran.
Kiranya ini sejalan dengan pendapat bahwa ‘pemerintah daerah jarang sekali
memikirkan masyarakatnya yang menderita di atas tanah yang menghasilkan susu
dan madu. Pemerintah mendapatkan tugas mulia untuk membebaskan masyaraknya dari
berbagai keterbelakangan. Maka untuk latihan, pemerintah diharapkan memperluas
dan mengintensifkan pemakaian berbagai pusat latihan keterampilan. Pusat
keterampilan ini akan memungkinkan masyarakat yang putus sekolah atau sama
sekali tidak sekolah memperoleh pendidikan praktis.
Selain melalui jalur pendidikan dan latihan perlu juga melalui
bantuan dana secara jelas. Telah kita ketahui bersama bahwa Papua memiliki
sejuta potensi alam yang harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Namun
pemanfaatan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang tidak mungkin
dikeluarkan oleh masyarakat sendiri. Pemerintah hendaknya memberikan dana
secara jelas, artinya harus dikoordinasikan secara baik. Karena kenyataan yang
terjadi dilapangan sampai saat ini, pemerintah memberikan dana kepada
masyarakat tanpa kontrol, alias dibiarkan entah dana itu lari ke mana. Akhirnya
dana yang berikan tidak dikembangkan dengan usaha-usaha jangka panjang.
Pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat yang mendapatkan
bantuan akan pentingnya menerapkan prinsip ekonomi “ menggunakan dana
sekecil-kecilnya tetapi memperoleh hasil yang sebesar-besarnya”
Disamping usaha-usaha di atas, penting juga penyediaan fasilitas
yang memadai bagi masyarakat. Usaha yang ketiga ini memang tidak muda dan agak
susah untuk dilakukan. Karena, Pulau paling Timur dari Indonesia ini sangat
luas dan ada daerah-daerah yang tidak mudah dijangkau dengan jalan darak atau
laut. Hal itu nampaknya salah satu kendala bagi pembangunan di Papua. Namun
kiranya ini bukan salah satu kendala yang mendasar untuk membangun, kalau
memang kita mau membangun Papua.
Penyediaan fasilitas dari pemerintah bagi masyarakat, khususnya
bagi masyarakat yang jauh dari perkotaan sebut saja pedalaman, menuju taraf
kehidupan masyarakat yang lebih baik. Fasilitas yang memberikan dukungan
terhadap kehidupan mereka sekarang dan akan datang. Masyarakat juga memerlukan
informasi dan komunitas, disamping pendidikan kalau memang berbicara untuk
membebaskan manusia Papua dari keterbelakangan. Yang fasilitas yang benar-benar
berfungsi dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Misalnya, dengan yang
namanya ‘listrik masuk desa’ atau listrik masuk pedalaman, maka masyarakat
dengan cepat akan mengalami perkembangan, baik melalui radio maupun televisi.
Karena fungsi radio dan televis itu tidak hanya sekedar informasi dan hiburan
tetapi juga mengandung nilain pendidikan, penerangan dan sebagainya. Kalau itu
semua dapat diserap oleh sebagian dari mereka maka sangat beruntung bagi yang
lain. Maka secara otomatis sedikit demi sedikit akan berkembang.
Salah satu fasilitas yang penting dalam peningkatan sumber daya
masyarakat papua setelah melalui tingkat pendidikan adalah Balai Latihan Kerja
(BLK) bagi masyarakat. BLK merupakan latihan kerja bagi lulusan SLTP dan SLTA
yang ingin memasuki dunia kerja. Mereka diberi keterampilan serta pelatihan
secara gratis, alias tanpa memungut biaya seperti yang terjadi selama ini di
Jayapura dan daerah lain. Sehingga semua generasi muda Papua dapat
mempersiapkan diri untuk masuk dunia kerja. Gratis yang dimaksud di sini tidak
disamakan dengan pendidkan formal. Pendidikan formal tidak harus gratis,
pendidikan yang gratis hanya memanjakan masyarak, bukan berarti pemerintah
menutup tangan untuk memberikan subsidi kepada pihak sekolah.
Bila masyarakat Papua mau berbicara perbaikan pendidikan dan
sumber daya masyarakatnya, maka tidak terlepas dari segala usaha yang
disengaja, antara lain beberapa pokok penting di atas. Untuk mengembangkannya
semangat repolusioner jiwa nasionalis sangat diperlukan, artinya pemimpin yang
benar-benar berpikir untuk keluar dari keterbelakangan. Maka dengan sendirinya
akan berakibat adanya perubahan struktural dalam masyarakat dan dengan demikian
masyarakat akan merasakan kesejahteraan dan keadilan yang wajar.
F. Mata Pencaharian Masyarakat
Papau
1) Penduduk Pesisir Pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama
sebagai nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan
lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah
tidak asing bagi mereka.
2) Penduduk Pedalaman yang Mendiami Dataran Rendah; Mereka
termasuk peramu sagu, berkebun, menagkap ikan di sungai, berburu di hutan di
sekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka
ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta
sepanjang aliran sungai. Adat istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai
pendatang baru.
3) Penduduk Pegunungan Yang Mendiami Lembah; Mereka bercocok
tanam, dan memelihara babgi sebagai ternak utama, kadangkala mereka berburu dan
memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan
penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat
istiadat dijalankan secara ketat dengan ‘’Pesta Babi’’ sebagai simbolnya. Ketat
dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan
heroism dalam mencari keseimbangan sosial melalui ‘’Perang Suku’’ yang dapat
diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga terhadap orang
asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe kedua.
4) Penduduk Pegunungan yang Mendiami Lereng-Lereng Gunung; Melihat
kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, member eksan
bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh
dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati
pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih ‘’KANIBAL’’
hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat
karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang
suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada
orang asing cukup tinggi juga.
G. Jenis-jenis
Perkawinan/Pernikahan Papua
Keaneka ragaman budaya bangsa IndonesIa ditunjukan dari adanya
berbagai suku bangsa, bahasa daerah dan pola perilaku yang berbeda-beda antara
satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan ini menunjukan juga bahwa hukum
sebagai salah satu unsur kebudayaan, terutama hukum adat, yang mengatur
kehidupan tiap masyarakat antara satu daerah dengan daerah lain juga berbeda.
Di satu sisi masyarakat menganggap penting untuk tetap mempertahankan
nilai-nilai budaya yang dimiliki termasuk didalamnya hukum local (adat), namun
tidak jarang disisi lain nilai-nilai budaya tersebut bertentangan dengan peraturan
hukum nasional yang diciptakan dan digunakan sejak Indonesia merdeka. Proses
perkawinan adat merupakan salah satu aspek budaya yang penting didalam
masyarakat yang sudah jelas berbeda tata cara antara suku, derah yang satu
dengan yang lainnya. Khususnya masyarakat biasa proses perkawinan adat bersifat
sakral dan magis. Dengan demikian maka proses perkawinan adat biak diatur
secara hati-hati, sistematis dan penuh kesungguhan yang bertanggung jawab,
sebab akibat sanksi hukum adatnya cukup berat bila tidak terproses sebagaimana
mestinya.
Orang Biak mengenal beberapa jenis perkawinan adat yang
disesuaikan dengan status sosial dan gaya hidupnya. Perkawinan bagi orang biak
tidak semata-mata untuk memperoleh keturunan dan pemenuhan biologis akan tetapi
berkaitan erat dengan peran dan fungsi yang disandang oleh seseorang dalam
kelompok masyarakatnya serta keberlangsungan marga (Keret atau Er).
Jenis-jenis perkawinan adat yang pada umumnya terjadi dikalangan
masyarakat biak itu antara lain :
a) Perkawinan Murni
(FARBAKBUK BEKAKU)
Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan
masyarakat biak karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat byak sebagaimana
akan dijelaskan pada Bab II berikut ini, jenis perkawinan ini gampang – sulit
terlaksana dikalangan orang byak karena yang dipertaruhkan disini adalah
derajat atau harga diri dan kedua pihak keret marga yang bersangkutan langsung
dalam proses perkawinan adat tersebut, penonjolan harta kekayaan , kemampuan
memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu melunasi maskawin dalam
pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
b) Perkawinan Kenalan
(FARBAKBUKMANIBOW)
Jenis perkawinan ini adalah sebagal wujud dan tindak lanjut dari
niat dua orang yang berkenalan baik, artinya sebagal balas jasa dari kedua
kenalan yang saling menguntungkan misalnya ketika salah satu kenalan (teman)
yang lain dari himpitan kesulitannya. Dengan demikian, maka kedua kenalan atau
teman baik itu berikrar untuk saling mengawinkan anaknya kelak sebagai tanda
persahabatan itu agar berlangsung terus. Biasanya proses perkawinannya tidak
sama persis seperti proses perkawinan murni (Farbakbuk bekaku) misalnya : Nilai
maskwain disesuaikan kemampuan pihak keluarga yang memberi, sedangkan syarat –
syarat proses perkawinan adat yang lain tetap harus dipenuhi sebagaimana
mestinya.
c) Kawin Lari (
PARBAKBUK BEBUR)
Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat seorang
laki-laki / atau perempuan tidak direstui oleh pihak keluarga karena pihak
keluarga mempunyai calon lain diluar keinginan kedua orang tersebut.
Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang bersangkutan mengambil
keputusan lari kawin dengan calon suami yang telah menjadi pilihannya dengan
penuh resiko. Perkawinan ini disebut Farbakbuk Bin Berbur perempuan yang lari
kawin).
Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka
laki – laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya
untuk dijadikan istri, sudah jelas penuh resiko.
Perkawinan ini disebut Farbakbuk Pasposer ( perkawinan karena
perampasan), Perkawinan adat, jenis ini prosedurnya jauh berbeda dengan proses
perkawinan tersebut diatas karena sifatnya terpaksa dan mengundang emosi
keluarga pihak perempuan, maka biasanya maskawin yang diminta oleh pihak
perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena sanksi adat.
d) Perkawinan Pergantian
Tungku (FARBAKBUK KINKAFSR)
Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan masyarakat adat
byak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang apabila istri
pertamanya telah meninggal ( Wafat), maka adik kandung yang sudah genap usia
kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan yang
ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya, biasanya tidak diacarakan
tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya cukup dengan mendapat
restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan dan maskawinnya
terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan tidak dipaksakan.
e) Perkawinan
Ppengganti Korban Pembunuhan (FARBAKBUK BIN BABYAK)
Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak termasuk
perkawinan luar biasa, karena wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku
pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti dengan
maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang anak
sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat perdamaian
dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang
bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat.
Proses perkawinan adat ditiadakan termasuk maskawinnya dengan
catatan bila dikemudian hari bila melahirkan seorang anak wanita dan ada
maskawin, maka maskawinnya separuh / sebagian diberikan kepada keluarga korban
sebagai tanda.
f) Perkawinan Hadiah
Perampasan Sebagai Budak (TARBAKBUK WOMEN)
Jenis perkawinan ini ada pada masyarakat byak “tempo doeloe”, sekarang sudah tidak ada
lagi, dan mungkin sekali masih terdapat dikalangan masyarakat didaerah
terpencil dipedalaman Papua atau didaerah-daerah terisolir pada lembah-lembah
barisan pegunungan tengah Papua. Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat
byak “tempo doeloe” terjadi bila marga-marga disuatu kampung menyerang kampung
lain karena suatu sebab khusus, sebab khusus itu antara lain.
a) Kampung itu pernah
diserang oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam).
b) Kampung yang
bersangkutan dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka
diserang.
c) Kampung yang
bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis
d) Kampung yang
bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik penyerangan dan
darat maupun dan laut.
Pada waktu serangan atau perang suku itu, pihak yang lebih kuat
merampas dan membawa pergi secara paksa wanita muda yang belum kawin atau
wanita muda yang sudah kawin sebagai hadiah kemenangan untuk kemudian dijadikan
istri.
Wanita yang dirampas dalam serangan atau perang suku itu menurut
aturan perang suku harus berasal dari tokoh masyarakat kampung yang dikalahkan.
Syarat wajib dalam perang suku masyarakat byak “tempo doeloe” ini
diperlukan sebagai :
a) Pameran kekuatan dan
kehebatan dalam teknik perang suku (perang tradisional).
b) Pameran patriotik,
sebagai motifasi kepada generasi muda untuk selalu memiliki jiwa perang
(Patriotik) tidak mudah menyerah dan selalu mencontohi leluhur yang selalu
pemberani (Mambri)
Mambri adalah orang kuat dalam masyarakat kampung yang selain
memiliki keunggulan perang, memiliki sifat dan sikap tidak kenal menyerah dalam
kondisi apapun, dan selalu berada pada posisi terdepan dan tidak perlu mundur
ketengah dan kebelakang dalam kepemimpinannya, dengan demikian dia adalah “Snon
kaku byak (Laki-laki sejati Biak) dengan gelar “Mambri” (Orang Kuat / Strong
man).
Proses perkawinan pada jenis perkawinan “ women” (Budak) ini
ditiadakan karena tidak ada wali orang tua yang jelas, demikian prosesi
perkawinan diatur oleh kesepakatan tua-tua adat dalam kampung kepada siapa
wanita yang dirampas (Pasposer) dalam perang suku menjadi kewenangan “Kain –
kain karkar Biak” (KKB) Dewan adat mnu (Dewan adat kampung) yang terdiri dari
para Mananwir Er (Kepala keret / marga).
H. Kesenian Papua
1. Tarian Papua
Tari Papua, menampilkan sekumpulan penari pria dengan pakaian adat
Papua, lengkap dengan tameng dan tombak. Tarian ini mirip seperti tarian perang,
dimana gerakan yang energik dalam memainkan tombak dan tameng, dan terkadang
diiringi dengan suara teriakan khas, merupakan gerakan yang khas dari tarian
tersebut. Iringan alat musik serupa kendang, merupakan salah satu iringan musik
yang dominan dalam tarian tersebut.
2. Rumah Adat
Di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang
begitu terkenal, yakni honai. Rumah khas masyarakat Papua itu berbentuk
lingkaran, terbuat dari kayu dan beratap jerami atau ilalang.
Satu keluarga bisa memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi
satu dan dibatasi pagar kayu di sekelilingnya. Tiap-tiap rumah dihuni satu pria
beserta para istri dan anak-anak mereka. Rumah tradisional itu memiliki pintu
yang kecil serta rendah dan tidak memiliki jendela sebagai saluran ventilasi
udara. Konstruksi demikian dibuat dengan
tujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Struktur rumah tradisional
tersebut tersusun atas dua lantai.
Lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat
bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua lantai,
tinggi rumah mencapai sekitar 2,5 meter.
Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat membuat api unggun untuk
menghangatkan diri sekaligus sebagai tempat untuk memasak. Gaya arsitektur honai
memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara arsitek terdahulu dalam
memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan mengandalkan bahan yang sederhana
dan sangat natural.
Eksplorasi materialnya pun dibuat sedemikian efektif dan ekonomis,
tanpa mengurangi kualitas dan nilai fungsional bangunan. Jika masuk ke dalam
honai ini, kegelapan diiringi rasa hangat langsung menyergap. Pasalnya, di
dalam ruang tidak terdapat satu pun jendela, yang ada hanya satu pintu.
3. Makanan Khas Papua
· Ubi Jalar
(Petatas) dan Keladi (Kastela) makanan khas Papua yang akan Go Public
Tanaman ubijalar (petatas) dan keladi (kastela) merupakan makanan
khas masyarakat pedalaman Papua dan masyarakat Papua umumnya. Olah karenanya sangat tepat jika Direktris Yayasan Honai Timika Ibu Anastasia
Takage, SA.g mengembangkan dua tanaman
yang merupakan makanan pokok masyarakat gunung ini, sebagai tanaman yang
mempunyai nilai jualannya sangat tinggi, seperti dikatakannya pada Rabu 13 Pebruari
2008. Sebagai anggota dewan, juga sebagai anak Papua pedalaman, Ibu Anastasia
mengaku merasa terpanggil untuk mengembangkan dua jenis makanan pokok suku
pedalaman ini menjadi makanan khas berkualitas tinggi dan disajikan pada semua
momen acara besar atau kecil di daerah ini.
Yam vs. sweet potato
“Kehidupan masyarakat Papua terutama masyarakat pedalaman, dengan
adanya modernisasi perlahan-lahan orang mulai lupa dengan makanan khas yang
merupakan warisan nenek moyang ini. Bagi Yayasan Honai melihat ini sangat
menarik, sehingga kedua tanaman ini perlu ada program budidaya dengan
persemaian yang baik sehingga hasilnya mempunyai kualitas yang tinggi, dan
sebagai makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi pula,” kata Ibu Anastasia
yang juga Ketua Dewan Kehormatan DPRD Kabupaten Mimika ini.Untuk membudidayakan
kedua tanaman ini, Yayasan Honai bekerjasama dengan beberapa kepala kampung
yang ada di beberapa Satuan Pemukiman (SP-SP). Para kepala kampung telah
memberi 3 hektare lahan, yang kemudian kelompok-kelompok ibu-ibu yang ada pada
kampung tersebut mengelola lahan ini sebagai kebun percontohan. Melalui kebun
percontohan ini, maka ke depan lahirlah petani-petani petatas dan keladi yang
secara rutin menghasilkan petatas dan keladi dalam jumlah yang begitu banyak.
Petatas dan keladi yang dihasilkan oleh kelompok ibu-ibu maupun dari
lahan-lahan secara pribadi itu, akan dibeli oleh Yayasan Honai yang selanjutnya
akan dipasarkan keluar Timika.
I. Pahlawan Nasional dari Papua
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua
tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes
Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu.
Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada
tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara.
Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya
diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.
Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen
dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari
Johanes) Papua (berasal dari Irian).
J. Peninggalan
Bersejarah Papua
Wilayah Papua memiliki peninggalan arkeologi yang sangat beragam
dan cukup lengkap dari sisi pembabakan sejarah, mulai dari masa prasejarah
hingga zaman pendudukan kolonial. Tony mengatakan, situs purbakala tertua yang
ditemukan di Pulau Papua berusia prasejarah, yaitu 40.000-30.000 tahun sebelum
masehi. Situs yang berlokasi di Kabupaten Biak ini berupa gua-gua yang pada
dindingnya dijumpai lukisan-lukisan dan fosil-fosil moluska atau cangkang
kerang. Menurut dia, penemuan fosil moluska menjadi indikator penting adanya
aktivitas manusia purbakala, karena pada periode waktu tersebut menjadi makanan
pokok bagi manusia prasejarah.
Selain di Biak, penemuan dari zaman megalitikum terdapat di Situs
Tutari, Kabupaten Jayapura. Di tempat ini ditemukan bongkahan batu berlukis
berbentuk binatang-binatang melata.
Sementara itu, peninggalan arkeologi dari zaman kolonial juga
banyak ditemukan di beberapa daerah di Papua karena wilayah ini pernah diduduki
bangsa Belanda sejak tahun 1900-an hingga pecah perang Pasifik di tahun
1940-an.
Situs zaman kolonial ini misalnya Situs Ifar Gunung, Situs Asei
Pulau dan Situs Hirekombe di Kabupaten Jayapura.
Adapun peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan sejarah
masuknya agama Islam ke Papua, dibuktikan dengan ditemukannya Situs Makam Islam
di Lapintal, Kabupaten Raja Ampat, Situs Islam di Pulau Nusmawan, Kabupaten Teluk
Bintuni dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar