Kepulauan Riau, sebagai nama sebuah provinsi yang tergabung dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan namanya, provinsi ini
terdiri atas ribuan pulau (1.062 buah), baik besar maupun kecil, berpenghuni
maupun belum. Pulau-pulau yang termasuk besar antara lain: Bintan, Karimun,
Singkep, Lingga, dan Natuna. Luas wilayahnya mencapai 250.162 kilometer
persegi. Sijori Pos (Ahad, 23 Juni 2002) malah menyebutkan lebih dari itu,
yaitu 251.810,71 kilometer persegi. Sangkin banyaknya, maka masyarakat setempat
mengibaratkannya sebagai segantang lada, sehingga muncullah istilah “bumi
segantang lada” untuk menyebut daerah Kepulauan Riau.
Wilayahnya yang relatif luas itu sebagian besar (95,79%) terdiri atas
perairan. Sedangkan, selebihnya berupa dataran yang berbukit-bukit tetapi
pantainya landai. Di sana-sini dihiasi oleh bebatuan pra-tersier yang berupa
metamor dengan sedimen yang terbatas. Jenis tanahnya pada umumnya terdiri atas:
organosol dan clay, humik, podsol, podsolik, lotosol, dan latosol yang
mengandung granit (Pemda TK. II Kepulaun Riau, 1997: 4). Iklim yang menyelimutinya
adalah tropis dengan temperatur terendah 23 derajat Celcius dan tertinggi 30
derajat Celcius. Kelembaban udaranya sekitar 88 derajat, sedangkan curah
hujannya rata-rata 2.000 milimeter per tahun.
Dengan jenis tanah yang dimilikinya, memang Kepulauan Riau kurang cocok
untuk budidaya tanaman pangan. Demikian juga tanaman komoditas lainnya,
seperti: karet dan kelapa sawit, kecuali menggunakan teknologi modern atau
canggih yang tentunya membutuhkan modal yang besar. Keadaan yang demikian,
setidaknya sampai saat ini, pada gilirannya membuat kebutuhan akan sayur-mayur
dan malahan beras harus didatangkan dari luar. Hampir sebagian besar kebutuhan
hidup masayarakat Kepulauan Riau didatangkan dari luar, baik dalam negeri
(Sumatera dan Jawa) maupun luar negeri, terutama negeri jiran (tetangga). Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika barang-barang kebutuhan sehari-hari relatif
lebih tinggi (mahal) dibandingkan dengan daerah lainnya, kecuali Batam yang
lebih tinggi. Namun demikian, Huzrin Hood (Mantan bupati Kepulauan Riau)
mengatakan bahwa potensi yang terkandung dalam buminya sangat menjanjikan
(Sijori Pos, Ahad, 23 Juni 2002, hal 9). Apa yang dikatakan oleh Huzrin Hood,
adalah tidak mengada-ada (lihat juga Be Julianery, Kompas, Selasa, 20 Agustus
2002, hal. 8, kol. 1--4). Di daerah Karimun misalnya, di sana tersimpan
kekayaan alam yang berupa timah dan granit; di Bintan tersimpan kekayaan alam
yang berupa pasir dan bauksit; dan di Natuna tersimpan kekayaan alam yang
berupa gas alam yang konon terbesar di dunia. Ini masih ditambah dengan
kekayaan laut (ikan) yang melimpah, walaupun belum dikelola secara professional
dan pengamanan yang intensif, sehingga di sana-sini seringkali diambil oleh
penangkap ikan asing. Selain itu, itu dewasa ini di Bintan, tepatnya di Lagoi,
ada kawasan pariwisata yang hotel-hotelnya bertaraf internasional. Konon,
lapangan golfnya terbesar di Asia Tenggara. Dan, masih ada lagi kawasan
industri berada di Lobam.
Sebagaimana masyarakat tropis lainnya, masyarakat Kepulauan Riau juga mengenal
musim kemarau dan penghujan. Selain musim yang umumnya dikenal oleh masyarakat
tropis itu, mereka juga mengenal adanya musim yang didasarkan pada arah angin.
Pada saat-saat angin bertiup dari arah utara, maka pada saat-saat itu disebut
sebagai musim utara. Ketika angin bertiup dari arah selatan, maka pada
saat-saat itu disebut sebagai musim selatan. Kemudian, pada saat-saat angin
bertiup dari arah timur, maka pada saat-saat itu disebut sebagai musim timur.
Dan, pada saat-saat angin bertiup dari arah barat, maka pada saat-saat itu
disebut sebagai musim barat. Dengan demikian, mereka mengenal adanya musim
utara, selatan, timur, dan barat. Musim utara yang terjadi pada bulan November
sampai dengan Februari (4 bulan) ditandai oleh angin yang sangat kencang.
Kecepatannya dapat mencapai 15 sampai dengan 30 knots. Musim selatan yang
berlangsung selama 2 bulan (Juli sampai dengan Agustus) ditandai oleh udara
yang panas, karena angin yang berhembus pada bulan-bulan tersebut hanya
berkisar 8 sampai dengan 20 knots. Musim timur yang terjadi pada bulan Maret
sampai dengan Juni (4 bulan) juga ditandai oleh udara yang panas, karena angin
yang berhembus rata-rata 12 knots. Dan, musim barat yang terjadi pada bulan
September sampai dengan Oktober (2 bulan) ditandai oleh udara yang lembab
(teduh) dan laut yang tenang. Sebagai catatan, setiap pergantian musim ada
saat-saat peralihan yang disebut sebagai musim pancaroba.
Latar Belakang Sejarah
Di masa lampau daerah Kepulauan Riau tidak hanya strategis, tetapi juga
sarat dengan Sumber Daya Alam (SDA) ini pernah menjadi salah satu pusat
kerajaan Melayu, yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Peninggalan-peninggalannya
sampai hari ini masih dapat dijumpai di Penyengat dan Daik-Lingga. Adanya
peninggalan-peninggalan kesejarahan itulah yang kemudian menjadikan nama
Penyengat dan Daik-Lingga tidak lepas dari pembicaraan orang. Apalagi, di pulau
yang relatif kecil itu (Penyengat) terlahir seorang pujangga kerajaan yang
salah satu karyanya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, bahkan
mancanegara. Pujangga itu adalah Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam
12-nya.
Di awal kemerdekaan, Kepulauan Riau juga tidak lepas dari pembicaraan
orang, terutama karena mata uang yang dipergunakan sebagai alat tukar bukan
rupiah sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Dengan alat tukar yang
menggunakan mata uang asing (Malaysia dan Singapura) membuat kehidupan
masyarakatnya relatif lebih baik ketimbang masyarakat yang berada di daerah
sekitarnya, malahan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mata uang yang
dipergunakan memiluku nilai tukar yang lebih tinggi ketimbang rupiah. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika Kepulauan Riau pada waktu itu dapat
diibaratkan bagaikan “gula”, sehingga banyak para pendatang yang ingin
“kecipratan” rezeki di sana. Mubyarto (1985) menyebutkan bahwa ketika itu
seorang pegawai negeri yang dipindahtugaskan ke sana merasa sangat beruntung.
Ibaratnya bagaikan “mendapat durian yang runtuh” atau ketiban “rezeki nomplok”.
Zaman yang sangat indah dan menyenangkan itu sering disebut sebagai “zaman
dollar”. Zaman itu berakhir ketika Indonesia bersitegang dengan Malaysia
(Konfrontasi Malaysia tahun 1963). Pada tahun yang bersamaan pemerintah
Indonesia memberlakukan kebijakan moneter yang intinya tidak memberlakukan lagi
mata uang asing (Malaysia dan Singapura) sebagai alat tukar resmi masyarakat
Kepulauan Riau. Sejak itulah, untuk sementara, seakan-akan Kepulauan Riau
“tenggelam” dan tidak begitu banyak dibicarakan orang lagi.
Di tahun 80-an, Batam yang pada mulanya masih berupa hutan dan karenanya
jarang disebut-sebut orang, menjadi kekuatan dahsyat yang digerakkan oleh
otorita. Pembangunan fisik secara besar-besaran dilakukan di sana, sehingga
nama Kepulauan Riau (baca Tanjungpinang) semakin tenggelam. Orang lebih tahu
Batam ketimbang Tanjungpinang. Padahal di masa lalu, orang lebih mengenal
Tanjungpinang ketimbang Batam. Namun dewasa ini, khususnya sejak dicanangkannya
Batam-Bintan dan sekitarnya dijadikan sebagai kawasan industri dan pariwisata,
nama Kepulauan Riau, sedikit demi sedikit, mencuat kembali. Lobam menjadi
kawasan industri, sementara Lagoi menjadi kawasan pariwisata terbesar di Asia
Tenggara. Dan, masyarakat dari berbagai daerah pun kembali berdatangan guna
mengadu nasib, mengejar kehidupan yang lebih baik ketimbang di daerahnya
sendiri.
Kepulauan Riau semakin menarik dan dibicarakan orang ketika tahun 1999
masyarakatnya menyelenggarakan musyawarah besar (Mubes) guna meningkatkan
kesejahteraannya. Musyawarah yang diselenggarakan di kilometer 10 (batu 10),
tepatnya di Hotel Royal Palace, tanggal 15 Mei 1999, membuahkan tekad
(keputusan) bahwa Kabupaten Kepulauan Riau mesti dimekarkan, baik horizontal
maupun vertikal. Satu dari sejumlah alasannya adalah kondisi geografis
Kepulauan Riau, yang jika masih bergabung dengan Provinsi Riau, maka rentang
kendali pemerintahannya tidak efektif dan efisien. Dan, jika ini dipertahankan,
Kepulauan Riau akan semakin ketinggalan dibanding dengan daerah lain yang
tergabung dalam Propinsi Riau.
Buah dari Mubes itu adalah terwujudnya beberapa kecamatan bergabung dan
menjadi Kabupaten Karimun. Kemudian, beberapa kecamatan yang berada di kawasan
Pulau Tujuh bergabung dan menjadi Kabupaten Natuna. Sementara itu,
Tanjungpinang yang pada mulanya hanya sebuah kota administratif, kini telah
berubah status menjadi kota otonom. Dengan perkataan lain, pemekaran secara
horizontal hampir seluruhnya terwujud. Sedangkan, pemekaran secara vertikal
(provinsi) adalah terwujudnya wilayah Kepulauan Rian menjadi sebuah provinsi
sendiri (lepas dari Provinsi Riau).
Kondisi Sosial-budaya
Kondisi sosial-budaya suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan faktor
geografis, kependudukan, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu,
ada baiknya jika kita lihat sekilas tentang sejarah atau persebaran orang yang
kemudian kita sebut sebagai “Melayu”. Berkenaan dengan ini Melalatoa
menyebutkan bahwa sesudah zaman es terakhir datanglah sekelompok orang yang
bercirikan ras weddoid ke Nusantara, termasuk ke daerah Riau. Sampai sekarang
sisa-sisa mereka masih ada, yakni orang: Sakai, Hutan, dan Kubu yang kemudian
disebut sebagai “orang asli”. Dalam kurun waktu 2.500 sampai dengan 1.500
Sebelum Masehi datanglah orang-orang yang kemudian disebut sebagai Proto Melayu.
Melalui Semenanjung Melayu mereka menyebar ke Sumatera. Sisa-sisa mereka yang
kemudian dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut juga masih dapat
ditemukan di daerah Riau. Gelombang berikutnya (masih menurut Melalatoa) adalah
yang terjadi sesudah tahun 1.500 Sebelum Masehi. Mereka kemudian disebut
sebagai Deutro Melayu (Melalatoa, 1986:190).
Sementara itu, Suparlan, berdasarkan catatan ahli kepurbakalaan (Van
Heakeren dan Soekmono), menambahkan bahwa sebelum orang Melayu datang ke
Nusantara (ke daerah Riau), sebenarnya di sana telah ada penduduknya. Bahkan,
menurutnya bukan hanya ras Weddoid semata, tetapi juga Austroloid. Berdasarkan
catatan itu, Suparlan menduga bahwa penduduk yang tergolong sebagai ras Weddoid
dan Austroloid itu masuk ke pedalaman karena terdesak oleh orang-orang Proto
Melayu. Sementara itu, orang-orang Deutro Melayu (yang datang pada gelombang
migrasi berikutnya) juga mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman,
sehingga terdapat percampuran antara orang-orang Weddoid, Austroloid, dan Proto
Melayu. Selain itu, ada orang-orang Proto Melayu yang melarikan diri ke
pedalaman, dan ada juga yang hidup berdampingan, bercampur-baur dengan
orang-orang dari Deutro Melayu (Suparlan, 1995: 39--40). Dari berbagai pendapat
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Orang Melayu bukan merupakan orang-orang
yang berasal dari satu ras tertentu, melainkan merupakan percampuran dari
berbagai ras, baik yang berkulit hitam maupun kuning.
Mengingat bahwa tumbuh dan berkembangnya Orang Melayu tidak lepas dari
kesejarahannya, Suparlan (1995), berdasarkan Suwardi MS, mengkronologiskan
sejarah Riau ke dalam 7 masa. Pertama, masa pengaruh Kerajaan Sriwijaya yang
berlangsung sampai dengan akhir abad ke-13. Kerajaan di Muara Takus diduga
merupakan kerajaan yang mewakili dalam menguasai kerajaan-kerajaan kecil di
Riau waktu itu. Kerajaan-kerajaan kecil itu kemudian bebas dan berdiri sendiri
setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Kedua, masa kemerdekaan kerajaan-kerajaan
Melayu, yaitu suatu masa dimana kerajaan-kerajaan Melayu Riau tidak dikuasai
oleh suatu kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu adalah:
Ø Bintan-Temasik (Kepulauan Riau)
Ø Malaka (Semenanjung Melayu)
Ø Kandis-Kuantan
Ø Gasib-Siak
Ø Kritang-Indragiri
Ø Rokan
Ø Segati
Ø Pekan Tua
Ø Andiko Nan 44 Kampar.
Ketiga, masa prosesnya kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu suatu masa dimana
kerajaan-kerajaan kecil Melayu tersebut berada di bawah pengaruh Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau. Keempat, masa kepunahan kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu
suatu masa dimana sebagian besar kerajaan-kerjaan Melayu tersebut mengalami
kepunahan yang sampai saat ini belum diketahui sebab-sebabnya, dan karenanya
perlu penelitian yang mendalam. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Kandis, Segati,
Pekan Tua, dan Gasib. Kelima, masa munculnya kerajaan-kerajaan besar, yaitu
suatu masa bermunculaannya kerajaan-kerajaan besar. Kerajaan-kerajaan itu
adalah: Siak Sri Indrapura, Indragiri, dan Pelalawan. Keenam, masa kerajaan
Riau-Lingga, yaitu suatu masa munculnya Kerajaan Riau-Lingga yang kemudian jaya
menggantikan Johor, namun kemudian menghilang dan runtuh kekuasaannya dengan
kekuasaan Belanda di Indonesia. Dan, ketujuh, menjelang kemerdekaan Indonesia,
yaitu suatu masa dimana terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti: Siak Sri
Indrapura, Indragiri, Pelalawan, Rokan, Sengingi, Kampar Kiri, dan Kuantan.
Faktor kesejarahan ditambah dengan letak geografisnya yang langsung
berbatasan dengan negara jiran (Malaysia dan Singapura), dan masih ditambah
lagi dengan berada di sekitar jalur perdagangan dan atau pelayaran
internasional (Selat Malaka), maka pada gilirannya membuat orang Melayu
terbiasa mengadakan kontak dengan unsur dan atau pendukung kebudayaan asing.
Kontak-kontak itulah yang kemudian mempengaruhi corak kebudayaan orang
Melayu itu sendiri.
Di Indonesia pemusatan orang Melayu yang terbesar adalah di wilayah
Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Sedangkan, di Asia Tenggara berpusat di
Semenanjung Malaka. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengacu pada pusat-pusat
kerajaan setempat di masa lampau atau dengan nama lokalitas yang secara
tradisional dikenal dalam kaitannya dengan pusat-pusat Kerajaan Melayu. Acuan
tersebut pada gilirannya membuahkan orang Melayu menyebut dirinya berasal dari
tempat atau kerajaan dimana orang tersebut berada. Di Malaysia misalnya, mereka
mengenal adanya Melayu-Malaka, Melayu-Johor dan seterusnya. Sedangkan di
Indonesia (baca di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau), sebutan yang tidak jauh
berbeda, adalah: Melayu-Siak, Melayu-Indragiri Hulu, Melayu-Daik,
Melayu-Penyengat, dan lain sebagainya. Di masa kini, disadari atau tidak, ada
kecenderungan, terutama sesama Melayu, menyebut dirinya sebagai seseorang yang
menempati daerah administrasi tertentu. Dengan demikian, ada Melayu-Kampar,
Melayu-Siak, dan lain sebagainya, termasuk Melayu-Kepulauan Riau. Berkenaan
dengan penyebutan itu, maka yang dimaksud dengan masyarakat Melayu-Kepulauan
Riau adalah pendukung kebudayaan Melayu yang secara administratif berada di
Provinsi Kepulauan Riau.
Salah satu yang membedakan antara Orang Melayu dan non-Melayu, terutama di
masa lampau, adalah pola kehidupannya yang berorientasi pada kelautan2). Pola tersebut pada
gilirannya membuat kebanyakan komuniti (pemukiman) mereka tumbuh dan berkembang
di tepian pantai atau sungai-sungai besar (Sungai Siak misalnya) yang dapat
dilalui oleh kapal-kapal yang relatif besar. Komuniti-komuniti itu kemudian
menjadi pusat-pusat perdagangan dan pelayaran, serta satuan pengamanan
jalur-jalur pelayaran internasional di kawasan Asia Tenggara.
Konon, orang Melayu pada dasarnya mempunyai jiwa pedagang dan kemaritiman
yang tidak berbeda dengan orang Bugis-Makassar. Hal itu tercermin dari
bahasanya yang dipergunakan sebagai lingua franca dalam perdagangan dan atau
pergaulan di hampir semua kawasan Nusantara. Ini artinya, orang Melayu juga
mengenal teknologi pembuatan kapal yang dapat menjelajahi laut lepas. Sebab
jika tidak, bagaimana bahasanya bisa tersebar begitu luas? Sementara, alat
transportasi yang memungkinkan pada waktu itu adalah kapal-kapal yang relatif
besar. Akan tetapi, karena faktor politik, yaitu ketika Kerajaan Melayu
dikuasai oleh bangsa asing (Belanda), orang Melayu dilarang membuat kapal yang
besar. Namun Belanda membolehkan mereka untuk membuat kapal-kapal yang kecil hingga
sedang yang ditujukan bukan untuk mengarungi lautan lepas, tetapi untuk
berlayar antarpulau di wilayah Kepulauan Riau. Dan, inilah yang kemudian
menjadi berbeda dengan orang Bugis-Makassar yang sampai sekarang orientasinya
adalah laut lepas, sehingga teknologi perkapalan yang ditumbuhkembangkan adalah
untuk kapal-kapal yang dapat mengarungi lautan lepas (Pinisi).
Pemusatan-pemusatan komuniti orang Melayu yang kebanyakan berada di tepian
pantai dan atau sungai-sungai besar itu, apalagi berada di sekitar jalur
pelayaran internasional, mau tidak mau, suka atau tidak, mereka sering kontak
dengan orang-orang non-Melayu (baca pendukung kebudayaan lain). Oleh karena
itu, sangat beralasan jika S. Boedhisantoso dan Parsudi Suparlan (1985)
mengatakan bahwa komuniti Orang Melayu merupakan daerah terdepan dalam
kaitannya dengan kontak-kontak kebudayaan asing. Dan, sangat beralasan pula
jika kedua antropolog itu mengatakan bahwa Orang Melayu sebenarnya yang paling
awal mengenal agama Islam.
Respon suatu masyarakat terhadap kebersinggungan (kontak-kontak) dengan
budaya asing dapat berupa asimilasi dan akulturasi. Asimilasi dapat terjadi
apabila dalam kontak-kotak budaya itu membuahkan budaya baru yang sama sekali
berlainan dengan kedua atau lebih budaya yang bersinggungan tadi. Sedangkan,
akulturasi dapat terjadi apabila satu dengan lainnya saling menyerap
unsur-unsur kebudayaan yang berbeda. Dalam kenyataannya, asimilasi jarang
terjadi (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah terjadi); yang sering terjadi
adalah akulturasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan kontaknya orang Melayu
dengan non-Melayu, apalagi orang Melayu paling awal bersinggungan dengan agama
Islam, kalau ajaran-ajaran Islam meresap dalam tradisi yang berlaku dan
menyelimuti berbagai upacara dan tindakan-tindakan simbolik orang Melayu.
Inilah yang kemudian membuahkan label bahwa orang Melayu identik dengan Islam.
Artinya, orang Melayu yang tidak menganut agama Islam adalah bukan orang Melayu
lagi. Dengan perkataan lain, orang tersebut telah “keluar dari Melayu”.
Demikian membuminya label itu, sehingga orang Tionghoa yang menganut agama
Islam, yang bersangkutan disebut atau menyebut dirinya sebagai “masuk” atau
“menjadi Melayu”. Bahkan, masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing pun
akan mengatakan demikian jika masuk Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
orang Sakai (Suparlan, 1995), keculai orang Luat yang tampaknya semakin bangga
dengan budayanya. Hal ini tercermin, walaupun mereka masuk Islam, tetapi mereka
tetap menamakan diri sebagai orang Laut. “Kami orang Laut tetapi kami beragama
Islam…” demikian pengakuannya (Galba, 1997).
Terbiasanya kontak dengan dunia luar (baca budaya asing) juga pada
gilirannya membuat struktur masyarakatnya longgar dan budaya terbuka. Ini,
paling tidak, tercermin dari diterimanya orang Arab dan Bugis ke dalam struktur
masyarakatnya, dengan gelar wan dan raja. Bahkan, orang Bugis yang telah
menjadi Melayu dapat menjadi sultan (Kerajaan Riau-Lingga yang berpusat di
Daik-Lingga dan Penyengat). Sementara itu, keterbukaan pada gilirannya juga
membuat orang Melayu mengakomodasikan dan sekaligus menyerap unsur-unsur budaya
lain, sepanjang unsur-unsur tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam, adat-istiadat, dan sopan-santun Melayu. Mengapa? Karena sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa roh budaya Melayu adalah Islam. Sehubungan
dengan itu, orang Melayu sering mengungkapkan dirinya sebagai orang yang
beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, dan berbahasa Melayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar